Amsir Renoat : Pemuda Maluku
KABARMASA.COM,— Presiden-Presiden Amerika Serikat (AS), seperti Jimmy Carter, Ronald Reagen, Geogrge Bush, hingga ke Presiden Joe Biden, tidak ada yang pernah luput dari permasalahan kawasan Timur Tengah, tercatat bahwa Carter berhasil menciptakan perdamaian antara Israel dan Mesir yang menghasilkan kesepakatan "Camp David Peace Accord", akan tetapi pada saat yang sama, Carter juga di anggap gagal dalam menghadapi Revolusi Islam Iran.
Mengapa Amerika Serikat selalu terlibat dalam urusan politik di Timur Tengah.?
Padahal, Timur Tengah terletak ribuan mil jaraknya dari Amerika. Gambaran ini memperlihatkan secara jelas betapa Amerika mempunyai kepentingan yang besar di kawasan ini, bahkan dengan berbagai upaya untuk mempertahankan eksistensi keterlibatannya di Timur Tengah.
Ada begitu banyak propganda dan hegemoni yang lancarkan oleh Amerika di kawasan tersebut, bahkan sampai pada beberapa gerakan kudeta pemimpin-pemimpin negara Arab yang di sponsori oleh Amerika, akan tetapi, secara umum, ada dua kepentingan utama Amerika di kawasan ini yang terancam oleh Rusia, yaitu minyak dan keamanan Israel, kepentingan-kepentingan inilah yang memotivasi Amerika untuk menahan "Komunisme", menjaga akses minyak untuk Amerika Serikat dan menghambat perubahan politik kawasan tersebut. Bahkan ketika perang dingin berakhirpun, kepentingan Amerika yang hakiki itu tidak akan pernah berubah, yang berubah hanyalah ancaman terhadap kepentingan tersebut.
Negara-negara di Timur Tengah memang berada dalam situasi yang berbeda dengan kawasan lain, mereka memiliki ketergantungan yang tinggi atas pendapatan dari minyaknya.
Eksistensi Israel Israel akan terus dipertaruhkan Oleh Amerika, komitmen Amerika atas hal ini meliputi alasan-alasan moral, emosional dan politik, itu sebabnya, mereka tidak akan pernah melepaskan diri dari berbagai macam problem yang terjadi di "Timur Tengah", jika persoalan yang terjadi disana berpotensi mengancam kepentingan ekonomi-politik mereka, termaksud aktiv sebagai "Master mind" dalam konflik Israel-Palestina, Israel sendiri adalah anak kandung Amerika di Timur Tengah, sebagai suksesor berbagai macam kepentingan Negri Paman Sam.
Pembahasan tentang konflik Israel-Palestina memang harus dikaji menggunakan multiperspektif. Kajian dalam perspektif politik dapat menggambarkan bagaimana konstalasi antar parpol di Palestina saling berebut kekuasaan negara dan simpati masyarakat.
Ketika muslim seluruh dunia sepakat untuk memberikan dukungan pada Palestina dalam melawan Israel, namun perbedaan ideologi antar partai di Palestina justru terpecah, memunculkan gerakan yang parsial, meskipun memiliki tujuan yang sama, Konflik yang terjadi antara Hamas dan tentara Israel sangat bersinggungan dengan kepentingan politik. Pun sebenarnya tak bisa menjadi sebuah pemakluman mengingat banyaknya korban jiwa dan rusaknya gedung-gedung yang merugikan masyarakat sipil.
Pada pemilu tahun 2006, Hamas berhasil memenangkan pemilu setelah mengalahkan partai Fattah sebagai incumbent. Banyaknya dukungan yang mengalir pada Hamas pada pemilu 2016 disebabkan karena citra baiknya sebagai kelompok militan dalam melawan Israel. Meskipun partai Fattah maupun Hamas sama-sama bertujuan untuk membebaskan Palestina dari Israel namun keduanya memiliki ideologi yang berbeda. Mendekati pemilu periode selanjutnya yaitu di tahun 2021, citra Hamas sebagai kelompok militan dalam melawan Israel tersebut kembali diperkuat dengan diturunkannya pasukan sayap militer Hamas pada Mei 2021.
Aliansi partai politik di Palestina sangat dinamis, setidaknya, ada 3 aliansi partai politik yang berkembang di Palestina, antara lain: Pertama, Aliansi Islamis yang bertujuan mendirikan negara Islam, dan menjadikan Islam sebagai solusi keterpurukan. Diwakili oleh HT (Hizbu Tahrir) atau Partai Pembebasan dan Hamas (Harakat al-Muqawama al-Islamiyya) atau Gerakan Perlawanan Islam. Meskipun dilarang diberbagai negara dengan mayoritas muslim, namun Hizbu Tahrir menjadi partai legal di palestina. Hal ini disebabkan karena misinya relevant diterapkan di negara tersebut. Yaitu memperjuangkan pembebasan negara atas jajahan negara lain.
Meskipun memiliki visi dan tujuan yang sesuai dengan kondisi Palestina, namun Hizbu Tahrir tidak diminati masyarakat Palestina. Gerakannya yang bersifat indoktrinasi, pendekatan ideologis dan tidak memiliki sayap militer dianggap kurang konkrit untuk melakukan gerakan pembebasan. Kesadaran untuk membebaskan diri dari jajahan Israel adalah harapan seluruh masyarakat Palestina, pun tanpa doktrinasi tersebut, kesadaran untuk bangkit dari keterpurukan penjajah sudah menancap di sanubari.
Sedangkan Hamas banyak diminati bahkan menjadi partai populer di Palestina karena memiliki sayap militer yang siap berjuang dimedan perang untuk melawan Israel. Hamas adalah turunan dari organisasi Ikhwanul Muslimin (IM) yang berdiri di Mesir pada tahun 1928. Selain keinginan untuk mendirikan negara Islam, doktrin “pan islamisme” IM juga diberlakukan oleh Hamas di Palestina.
Doktrin tersebut bertujuan untuk melibatkan seluruh umat muslim di dunia untuk bersatu melawan Israel. Hal ini dinilai cukup berhasil, karena setiap agresi militer Hamas dan Israel terjadi, resonansi dukungan dari muslim dunia mengalir ke Palestina. Baik dukungan secara moril, finansial, maupun bantuan lainnya.
Ikhwanul Muslimin termasuk gerakan di Arab yang pertama kali memperlihatkan perhatian serius terhadap masalah Palestina. Pada 1935, Hasan Al Banna mengutus unsur-unsur pimpinan IM, yakni Muhammad As'ad Al Hakim dan Abdurrahman Al Banna ke Palestina. Tujuannya untuk menjajaki kemungkinan apa saja yang bisa dilakukan organisasi tersebut di sana.
Kira-kira setahun kemudian, cabang Ikhwanul Muslimin di Palestina terbentuk. Awalnya, kantor cabang tersebut berada di Haifa, tetapi kemudian berpindah ke Gaza. Kepindahan itu atas usulan Ayash Umairah yang memandang perlunya konsolidasi atas kelompok-kelompok kecil simpatisan Ikhwanul Muslimin.
Sejak awal 1930-an, mereka tersebar dari Yafa hingga Yerusalem. Dalam jangka waktu beberapa tahun, puluhan ranting Ikhwanul Muslimin berdiri di banyak daerah se-Palestina. Jumlah anggotanya terus menanjak hingga sekira 20 ribu orang pada saat Hari Nakbah terjadi. Semuanya patuh pada arahan dari markas pusat IM di Kairo, Mesir.
Hingga periode 1940-an, Ikhwanul Muslimin sangat dekat dengan pergerakan radikal Palestina yang dimotori Syekh Izzuddin al-Qassam. Beberapa tahun sebelumnya, pejuang Palestina itu mendirikan Jam'iyyat asy-Syubban al-Muslimin dengan tujuan mengusir imperialisme Inggris dan pendudukan bangsa Yahudi dari Palestina. Dialah yang memulai seruan pergerakan bersenjata dalam melawan kolonialisme di Bumi al-Quds.
Pada 1948 menjadi tonggak penting dalam sejarah penjajahan yang dilakukan Zionis. Pada 14 Mei 1948, Britania Raya secara resmi mengakhiri mandatnya di Palestina. Pada hari yang sama, Dewan Nasional Yahudi di Tel Aviv meng umumkan proklamasi negara Yahudi Israel (Eretz-Israel). Hanya berselang beberapa jam kemudian, Amerika Serikat (AS) mengakui secara de facto negara baru itu.
Keesokan harinya, 15 Mei 1948, koalisi militer negara-negara Arab menyerbu Israel. Mereka datang dari pelbagai penjuru, seperti Mesir, Tran syordania, Iran, dan Lebanon. Kira-kira sembilan bulan lamanya aliansi Arab bertempur melawan Zionis, yang didukung negara-negara adidaya. Dalam Perang Arab-Israel 1948, tidak hanya Ikhwanul Muslimin Palestina yang terjun ke medan perjuangan.
Cabang-cabang Ikhwanul Muslimin di berbagai negeri Arab, seperti Transyordania, Suriah, dan Irak, pun turut serta. Adapun para anggota Ikhwanul Muslimin dari Mesir bergabung menjadi prajurit sukarela dalam pasukan militer yang dikirim pemerintah Mesir ke Israel. Dari Negeri Piramida, sebanyak tiga batalion pasukan sukarela Ikhwanul Muslimin dipimpin Ahmad Abdul Aziz.
Kedua, partai nasionalis bertujuan untuk membebaskan palestina dari jajahan Israel dan mendirikan negara dengan sistem pemerintahannya sendiri. Partai ini diwakili oleh Fattah (harakat tahrir Falestine) atau Organisasi Pembebasan Palestina. Fattah didirikan oleh sekelompok pengungsi Palestina di tahun 1959. Dahulunya, Fattah dan IM adalah satu gerakan, kemudian muncul konflik dan kemudian terpisah menjadi gerakan parsial. Tepatnya di tahun 2004 setelah wafatnya Yasser Arafat Presiden pertama di Palestina dari partai Fattah dan diperkeruh dengan kemenangan Hamas atas Fattah pada pemilu 2006.
Gerakan ini lebih fokus pada proses diplomasi dengan Israel. Gerakan ini pada akhirnya dianggap kurang representatif karena seringnya pelanggaran yang dilakukan oleh Israel. Diplomasi yang dilakukanpun sering merugikan pihak Palestina seperti kesepakatan otonom atas palestina tepi Barat dan Gaza. Hal inilah yang menyebabkan kekecewaan masyarakat terhadap Fattah karena mengkerdilkan perjuangan politis Palestina.
Kekalahan Fattah tersebut menyebabkan hilangnya dominasi Fattah di parlemen, padahal sebelumnya Fattah adalah partai yang menduduki 55 kursi dari 88 kursi parlemen. Isu adanya dukungan Amerika atas gerakan Fattah yang mencuat di tahun 2010 cukup menurunkan minat masyarakat Palestina terhadap gerakan pembebasan Fattah yang mengedepankan diplomasi pada Israel.
Ketiga, partai demokrat yang bertujuan untuk menerapkan sistem negara demokrasi di Palestina. Diwakili oleh beberapa partai antara lain Partai Komunis palestina didirikan pada 1984 oleh Sulaeman Najib pada 1984 berhaluan komunis, tidak militan, dan radikal. Partai Reformasi dan Pembangunan, Partai Ittihad Demokrat Palestina, Partai Rakyat Palestina, dan Partai Komunis Palestina.
Sejauh ini, Timur Tengah memang merupakan salah satu kawasan yang memiliki dampak besar dari manifestasi hegemoni Amerika Serikat. Beberapa aktor di Timur Tengah sejatinya telah banyak mencoba melepaskan diri dari hegemoni Amerika, namun beberapa usaha yang telah dilakukan sampai saat ini belum dapat dikatakan berhasil. Ditambah lagi, invasi Amerika ke Afganistan dan Irak pasca serangan 11 September 2001 dengan dalih perang melawan terorisme semakin menegaskan hegemoni negara adidaya tersebut.
Hegemoni Amerika juga berdampak pada proses perjuangan Palestina untuk mendapat pengakuan kedaulatan. Saat ini perjuangan Palestina terpecah menjadi dua kubu yaitu Hamas selaku otoritas yang menguasai Jalur Gaza dan Fatah yang mendominasi Palestinian Liberation Organization (PLO) di Tepi Barat, Fatah/PLO lebih menurut pada intervensi AS sedangkan Hamas anti AS dan sekutunya sehingga keduanya memiliki jurang perbedaan yang besar.
Perbedaan ini tentu saja menghambat proses perjuangan Palestina untuk mendapat pengakuan internasional. Tulisan ini berusaha menjelaskan hegemoni Amerika di Timur Tengah dan dampaknya terhadap proses rekonsiliasi Hamas dan Fatah dalam usaha bangsa Palestina mendapat pengakuan kedaulatan.
Selain itu, berakhirnya Perang Dingin juga memberikan dampak positif lainnya bagi Amerika dalam menguatkan hegemoninya di Timur Tengah. Pertama, AS lebih bebas untuk mengerahkan kekuatan militer sambil merusak alasan domestik dan internasional untuk melakukan hal itu.
Kedua, AS mampu melemahkan posisi beberapa negara Arab (termasuk anggota OPEC yang penting, terutama Irak) yang menentang strategi AS dalam Kawasan.
Ketiga, AS telah melemahkan basis material dan ideologis yang tersisa untuk model pembangunan yang terencana dan statistis, termasuk yang didasarkan langsung atau tidak langsung pada sewa minyak.
Keempat, mengubah persaingan antara Amerika Serikat dan sekutu kapitalisnya menjadi saluran "ekonomi" yang lebih ketat, Hegemoni AS di Timur Tengah tidak dimulai dengan jatuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989 atau dengan runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, tetapi dengan peristiwa yang menggambarkan kurangnya penantang eksternal Washington di wilayah tersebut: Perang Teluk 1990-1991.
Perang itu kemudian diikuti dengan pendirian dan perluasan sejumlah pangkalan militer Amerika di sisi Arab khususnya sekitar Teluk Persia. Hegemoni AS di Timur Tengah selama seperempat abad (sejak 1990) telah mampu mengamankan 3 kepentingannya: Israel, minyak dan anti Komunisme.
Dengan segala kekuatannya Amerika mampu untuk mendapatkan dukungan dari para pemimpin negara-negara Timur Tengah untuk menjalankan agenda politiknya. Selain itu AS juga dapat mengintervensi segala kebijakan ekonomi di kawasan tersebut.