KABARMASA.COM, JAKARTA - Di semua platform toko online bisa ditemukan penjualan
baju-baju bekas dengan harga yang sangat murah, mulai belasan hingga puluhan
ribu rupiah. Bahkan, ada pula yang
menjual baju bekas per bal.
Harga murah, kualitas baik, dan bermerek, menjadi daya tarik
konsumen memburu pakaian bekas, terutama yang berasal dari luar negeri.
Di Indonesia, mengacu pada hasil survei Goodstats mengenai
preferensi gaya fesyen anak muda Indonesia yang dilaksanakan pada 5-16 Agustus
2022 dengan melibatkan 261 responden, mayoritas responden atau sekitar 49,4%
mengaku pernah membeli fesyen bekas dari hasil thrifting.
Sisanya, sekitar 34,5% mengaku belum pernah mencoba
thrifting dan sebanyak 16,1% memilih untuk tidak akan pernah mencoba membeli
barang hasil thrifting.
Para pengikut tren thrifthing ini bisa ditemui di berbagai
lapak baju bekas di sejumlah kota di Indonesia, salah satunya di Bandung, Jawa
Barat.
“Orang melihatnya kayak bukan baju thrift sesudah dipakai,“
kata Citra Ayu Lestari, seorang konsumen thrifting ketika ditanya alasannya
memilih membeli baju bekas.
Citra mengaku lebih sering belanja baju bekas karena tergiur
dengan harga murah dan model baju yang menarik dengan beragam model dan jenama
mahal, seperti Zara dan Berska.
“Pernah tuh sama mama bawa uang Rp500.000, habis berdua,
tapi dapatnya banyak, worth it lah. Yang
paling mahal cuma Rp50.000 Di Sukabumi
juga ada (thrift shop), beli jeans waktu itu Rp30.000, beli atasan kemeja
Rp20.000,” ujar pemudi asal Sukabumi itu kepada wartawan di Bandung, Yulia
Saputra, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Lapak baju bekas yang dikunjungi Citra saat itu sedang ramai
pembeli.
Ratusan helai pakaian bekas berupa kaos, sweater, jaket
hoodie, topi, dan sepatu, berderet memancing pembeli datang. Busana dan
aksesori di sana dibanderol di kisaran Rp35.000 dan Rp 50.000.
“Ini barang dari luar (impor). Kalau barang lokal jarang. Ini barang dari Korea dan Jepang,” kata
Firman Nurzaman, pemilik thrift shop yang baru buka setahun lalu.
Baju-baju bekas itu, didapat Firman dari agennya di Pasar
Cimol Gedebage, tempat agen dan gudang pakaian bekas impor berkumpul.
Dari satu bal pakaian bekas yang dibeli seharga Rp6 juta
lebih, Firman bisa mendapat 200 helai jaket crewneck atau 150 helai jaket
hoodie. Namun, tidak semuanya dalam
kondisi baik.
“Yang minus-minus dibuang.
Biasanya yang bolong, cacat. Cuma
yang cacat biasanya ada yang nampung juga, jadi nggak kebuang percuma. Nggak
ada yang jadi sampah, kejual semua pasti. Harga saja yang beda,” sebut Firman
saat ditemui di tokonya
Akan tetapi, menurut Rukiahati Ginting, mantan pedagang baju
bekas impor di Pasar Cimol Gedebage, hanya 65% pakaian dalam satu bal yang bisa
terjual. Sisanya, dijual dengan harga
sangat murah atau dibuang.
“Tidak akan pernah laku habis per balnya. Kurang lebih, 35% itu pasti sisa. Nah itu yang saya nggak tahu ke mana. Berarti logikanya sudah pasti jadi sampah
kan. Nah, itulah permasalahannya,"
ungkap Rukiahati yang pernah berdagang pakaian bekas impor selama lima tahun.
Pakaian bekas
berdampak pada lingkungan
Di Indonesia, limbah kain tidak saja menumpuk di daratan,
tapi juga mencemari lautan. Dua tahun
lalu, sebanyak 6,1 ton limbah kain ditemukan di Pantai Timur Ancol,
Jakarta.
Jenis sampah itu mendominasi temuan sampah di kawasan
tersebut atau 81,3% dari 7,53 ton sampah yang terkumpul. Bahkan jauh melampaui temuan sampah plastik
(keras dan lunak) yang hanya 0,5 ton.
Sampah sebanyak itu hasil aksi Bebersih Pantai yang
dilakukan komunitas Pandu Laut bersama
Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Sementara penelitian Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan
Institut Teknologi Bandung (ITB) di 2022, mengungkapkan, rata-rata setiap
individu di Kota Bandung menghasilkan sampah kain sebanyak 7,9 kilogram per
tahun.
Jumlah tersebut setara dengan sembilan helai jaket atau
sweater atau 18 kemeja, atau 14 gaun, atau 20 kaus.
Jika dikalikan dengan jumlah penduduk di Bandung yang berjumlah
2,53 juta (data Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri
2021), jumlah sampah produk tekstil ini mencapai hampir 20.000 ton per tahun.
Penelitian yang melibatkan 600 responden dari berbagai usia
ini juga menyebutkan, proyeksi timbulan sampah tekstil pascakonsumsi di 2030
nanti akan menjadi 8,56 kg per orang per tahun dengan total 21,7 ribu ton per
tahun.
“Pengelolaan sampah tekstil pascakonsumsi di Kota Bandung
masih bertumpu pada pengelolaan individu, yakni didonasikan sebesar 33,38%,
dijual 3,35%, digunakan kembali 28,46%, dibuang 30.73%, dan perlakukan lainnya
4,09%,” papar peneliti sekaligus Pemerhati Pengelolaan dan Teknologi Persampahan,
Dr. Emenda Sembiring, yang melakukan penelitian ini bersama mahasiswanya, Advan
Dwi Prayuda.
Dalam penelitian tersebut diungkap pula perilaku responden
dalam membuang sampah tekstil pascakonsumi yang sebagian besar atau 62,38%
membuang ke tempat sampah tercampur, 1,45% membuang ke sungai, kali, dan
saluran pembuangan, 13,99% membakarnya, serta 0,48% membuang ke tempat
lain.
Hanya 21,7% yang membuang ke tempat sampah terpilah.
Secara nasional, berdasarkan data Sistem Informasi
Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) 2021, kurang lebih 751 ribu ton tekstil
menjadi sampah.
Dr. Emenda Sembiring mengatakan sampah pakaian bekas impor
ini semestinya menjadi perhatian sebagai dampak tren thrifting.
“Berarti residunya banyak, kita yang rugi dong. Nambah-nambah yang tadi sudah satu orang saja
di Bandung (limbah fesyen) 7,9 kilogram per tahun, jadi tambah lagi residunya,”
cetus Emenda yang menjabat Associate Professor di Program Studi Teknik
Lingkungan, Fakultas Teknil Sipil dan Lingkungan ITB.
Tren thrifting, menurut Emenda, sebetulnya berdampak positif
pada lingkungan.
Dengan syarat, sumber pakaian bekasnya berasal dari dalam
negeri, bukan impor.
Jika pakaian bekasnya berasal dari lokal, lanjut Emenda,
dapat mengurangi jumlah sampah fesyen dalam negeri karena pakaian bekas terus
bersirkulasi dan memberikan manfaat, meski berganti pengguna.
“Mau kita lihat dari sudut pandang emisi, jumlah sampah yang
dihasilkan, lebih banyak untungnya kalau sumbernya dan marketnya dari dalam
negeri. Kalau kita buat umur pakai satu
benda atau produk lebih lama harusnya lebih banyak memberikan untung pada
lingkungan, kalau sumber produknya dari
dalam negeri,” beber Emenda.
Namun, harga murah pada pakaian ”tangan kedua” cenderung
mendorong pembelian secara kompulsif.
Inilah, menurut Emenda, yang harus dihindari. Akan tetapi, sepanjang pakaian itu masih
memberikan manfaat, tidak perlu dikhawatirkan, katanya.
“Kalau dia pakai, berarti masih punya fungsi, belum jadi
sampah, why worry? Tapi kita harus tahu,
perilakunya seperti apa. Sudah beli
sepuluh karena murah, dia beli lagi, baru sekali pakai terus dibuang. Itu baru
jadi perhatian kita. Kalau dia beli
sepuluh, terus dia pakai, kenapa harus kita bahas karena masih bermanfaat,”
ujar Emenda yang meraih gelar doktor
dari Asian Institute of Technology.
Untuk melawan fast fashion, lanjut Emenda, thrifting
bukanlah caranya.
Menurut Emenda, produsen harus ikut bertanggung jawab atas
kerusakan lingkungan yang diakibatkan dari produknya.
“Kalau fast fashion itu yang harus kita kejar justru para
produsen fesyen. Dia harus bertanggung
jawab. Boleh saja fast fashion, tapi
setelah itu, dia bertanggung jawab sama produknya. Dengan cara di-take back. didaur ulang
kembali, dijadikan serat lagi, balik lagi jadi fabric, fabric jadi fashion
produk lagi, take back lagi dan seterusnya,” imbuhnya.
Namun, cara tersebut sulit dilakukan terhadap pakaian dengan
pola thrifting lantaran pakaian dari berbagai jenama sudah tercampur dalam satu
bal.
Konsep Tukar Baju
Zero Waste Indonesia (ZWID), sebuah komunitas berbasis
online pertama yang aktif mengajak masyarakat Indonesia untuk menjalani gaya
hidup nol sampah, memiliki cara berbeda guna mengurangi limbah fesyen, yakni
dengan melakukan kampanye #TukarBaju.
Kampanye ini dilatarbelakangi fakta bahwa industri fesyen
adalah salah satu industri yang paling berpolusi di dunia.
Selain itu, tragedi robohnya Rana Plaza yang menampung lebih
dari 20 pabrik garmen dan menewaskan 1.000 orang lebih serta mengakibatkan
sejumlah orang terluka di Bangladesh pada 24 April 2013, turut menjadi alasan
digelarnya kampanye #TukarBaju.
“Berangkat dari latar belakang itu, tahun 2019, Zero Waste
Indonesia meluncurkan kampanye #TukarBaju. Sebuah kampanye untuk menciptakan
kesadaran bagi masyarakat dan sebagai salah solusi akan sampah fesyen dan
limbah tekstil di Indonesia,” tutur Amanda Zahra Marsono, PR dan Marketing
Advisor Zero Waste Indonesia.
Lebih lanjut, Amanda menerangkan, kampanye #TukarBaju
merupakan kegiatan sederhana di mana pengunjung dapat membawa maksimal lima
buah baju miliknya untuk ditukarkan dengan baju pengunjung lainnya.
“Baju yang mau ditukarkan harus sudah sesuai dengan poin
kurasi #TukarBaju,” sebut Amanda yang juga pendiri Zero Waste Indonesia.
Sejauh ini, kampanye #TukarBaju sudah berjalan sebanyak 22
kali, baik online, maupun offline, dan cukup mengundang antusias warga,
ditandai dengan keterlibatan berbagai komunitas dan sejumlah perusahaan
ternama.
Dr. Emenda Sembiring mengatakan sampah pakaian bekas impor
ini semestinya menjadi perhatian sebagai dampak tren thrifting.
“Berarti residunya banyak, kita yang rugi dong. Nambah-nambah yang tadi sudah satu orang saja
di Bandung (limbah fesyen) 7,9 kilogram per tahun, jadi tambah lagi residunya,”
cetus Emenda yang menjabat Associate Professor di Program Studi Teknik
Lingkungan, Fakultas Teknil Sipil dan Lingkungan ITB.
Tren thrifting, menurut Emenda, sebetulnya berdampak positif
pada lingkungan.
Dengan syarat, sumber pakaian bekasnya berasal dari dalam
negeri, bukan impor.
Jika pakaian bekasnya berasal dari lokal, lanjut Emenda,
dapat mengurangi jumlah sampah fesyen dalam negeri karena pakaian bekas terus
bersirkulasi dan memberikan manfaat, meski berganti pengguna.
“Mau kita lihat dari sudut pandang emisi, jumlah sampah yang
dihasilkan, lebih banyak untungnya kalau sumbernya dan marketnya dari dalam
negeri. Kalau kita buat umur pakai satu
benda atau produk lebih lama harusnya lebih banyak memberikan untung pada
lingkungan, kalau sumber produknya dari
dalam negeri,” beber Emenda.
Namun, harga murah pada pakaian ”tangan kedua” cenderung
mendorong pembelian secara kompulsif.
Inilah, menurut Emenda, yang harus dihindari. Akan tetapi, sepanjang pakaian itu masih
memberikan manfaat, tidak perlu dikhawatirkan, katanya.
“Kalau dia pakai, berarti masih punya fungsi, belum jadi
sampah, why worry? Tapi kita harus tahu,
perilakunya seperti apa. Sudah beli
sepuluh karena murah, dia beli lagi, baru sekali pakai terus dibuang. Itu baru
jadi perhatian kita. Kalau dia beli
sepuluh, terus dia pakai, kenapa harus kita bahas karena masih bermanfaat,”
ujar Emenda yang meraih gelar doktor
dari Asian Institute of Technology.
Untuk melawan fast fashion, lanjut Emenda, thrifting
bukanlah caranya.
Menurut Emenda, produsen harus ikut bertanggung jawab atas
kerusakan lingkungan yang diakibatkan dari produknya.
“Kalau fast fashion itu yang harus kita kejar justru para
produsen fesyen. Dia harus bertanggung jawab. Boleh saja fast fashion, tapi setelah itu,
dia bertanggung jawab sama produknya.
Dengan cara di-take back. didaur ulang kembali, dijadikan serat lagi,
balik lagi jadi fabric, fabric jadi fashion produk lagi, take back lagi dan
seterusnya,” imbuhnya.
Namun, cara tersebut sulit dilakukan terhadap pakaian dengan
pola thrifting lantaran pakaian dari berbagai jenama sudah tercampur dalam satu
bal.
Konsep Tukar Baju
Zero Waste Indonesia (ZWID), sebuah komunitas berbasis
online pertama yang aktif mengajak masyarakat Indonesia untuk menjalani gaya
hidup nol sampah, memiliki cara berbeda guna mengurangi limbah fesyen, yakni
dengan melakukan kampanye #TukarBaju.
Kampanye ini dilatarbelakangi fakta bahwa industri fesyen
adalah salah satu industri yang paling berpolusi di dunia.
Selain itu, tragedi robohnya Rana Plaza yang menampung lebih
dari 20 pabrik garmen dan menewaskan 1.000 orang lebih serta mengakibatkan
sejumlah orang terluka di Bangladesh pada 24 April 2013, turut menjadi alasan
digelarnya kampanye #TukarBaju.
“Berangkat dari latar belakang itu, tahun 2019, Zero Waste
Indonesia meluncurkan kampanye #TukarBaju. Sebuah kampanye untuk menciptakan
kesadaran bagi masyarakat dan sebagai salah solusi akan sampah fesyen dan
limbah tekstil di Indonesia,” tutur Amanda Zahra Marsono, PR dan Marketing
Advisor Zero Waste Indonesia.
Lebih lanjut, Amanda menerangkan, kampanye #TukarBaju
merupakan kegiatan sederhana di mana pengunjung dapat membawa maksimal lima
buah baju miliknya untuk ditukarkan dengan baju pengunjung lainnya.
“Baju yang mau ditukarkan harus sudah sesuai dengan poin
kurasi #TukarBaju,” sebut Amanda yang juga pendiri Zero Waste Indonesia.
Sejauh ini, kampanye #TukarBaju sudah berjalan sebanyak 22
kali, baik online, maupun offline, dan cukup mengundang antusias warga,
ditandai dengan keterlibatan berbagai komunitas dan sejumlah perusahaan
ternama.
Mekanisme barter ini membuka peluang bagi setiap orang
tampil modis tanpa harus mengeluarkan dana tambahan untuk berbelanja pakaian
baru. Baju yang bisa ditukar harus memenuhi persyaratan, seperti baju harus
bersih, layak pakai, tidak bernoda, tidak lusuh, dan tidak ketinggalan zaman.
Dalam sebuah kegiatan #TukarBaju baru-baru ini, setidaknya
300 pengunjung dengan lebih dari 1100 baju ditukar selama satu hari
penyelenggaraan. Hal itu berarti,
sebanyak 458 kilogram telah berhasil
diselamatkan dari potensi menjadi sampah fesyen.
“Harapan kami, meningkatnya kesadaran masyarakat Indonesia
akan nilai fesyen berkelanjutan terutama di negara kita dimana industri fesyen
sangatlah berpotensi menjadi limbah,” terang Amanda.
Menyikapi maraknya thrifthing, Amanda mengungkapkan, membeli
pakaian bekas, thrift atau preloved,
merupakan upaya yang baik untuk meminimalisasi sampah fesyen. Namun, Amanda
mengingatkan, memiliki pakaian secukupnya sesuai yang dibutuhkan adalah pilihan yang lebih berkelanjutan.
“Jangan sampai, pola konsumsi belanja baju menjadi
berlebihan mengatasnamakan thrift menjadi momentum untuk memiliki baju lebih
dari yang kita butuhkan. Karena wujud kecintaan pada lingkungan dan pilihan
yang paling sustainable sebenarnya adalah di mana telah tumbuhnya rasa sadar
dan menggunakan-memanfaatkan baju yang kita sudah miliki semaksimal mungkin,
baju yang sudah ada di lemari kita,” tandasnya.
Hindari perilaku
belanja kompulsif
Mengingat sejumlah fakta dampak buruk industri tekstil,
sudah saatnya masyarakat ikut berpartisipasi menyelamatkan bumi dengan cara
bijak dalam berpakaian.
Menurut Emenda ada beberapa cara agar pakaian bisa
dimanfaatkan secara maksimal dan tidak berakhir menjadi sampah.
• Membeli
baju sesuai kebutuhan
• Hindari
perilaku belanja kompulsif
• Periksa
lemari pakaian. Jika ada pakaian yang sudah lama tersimpan dan tidak dipakai
lagi, sebaiknya disumbangkan ke orang yang membutuhkan atau dijual ke toko
pakaian bekas
“Jadi siklusnya
berbeda dengan siklus thrifting yang beli karena murah, bukan karena
kebutuhan,” katanya.
Namun, lanjut Emenda, tidak hanya konsumen yang dituntut
tanggung jawabnya, tapi produsen juga.
Produsen sebagai penghasil produk, harus punya mekanisme
atau sistem yang ikut bertanggung jawab mengambil kembali fesyen yang sudah
tidak terpakai karena tren atau musim telah berganti.
“Boleh fast fashion, tapi dia ambil kembali (pakaiannya)
dijadikan serat lagi, balik lagi jadi produk, jadi serat lagi, dan seterusnya. Jadi tetap sirkular. Dua-dua bertanggung jawab. Konsumen bertanggung jawab, produsen juga
bertanggung jawab,” jelas Emenda.
Tradisi lungsuran yang sudah lama berlaku di masyarakat, menurut
Emenda, adalah tradisi baik yang harus dipertahankan dan digiatkan
kembali.
“Kalau ada rencana nambah anak, bisa disimpan, atau
dipinjamkan kepada siapa yang punya bayi baru, dibersihkan lagi, kemudian bisa
dilungsurkan lagi ke ibu baru yang punya bayi.
Saya kira kebiasaan itu sangat bagus.
Menurut saya, kenapa tidak dan nggak perlu takut juga, kan dicuci,
dibersihkan, bakteri-bakterinya juga sudah mati,” ujar Emenda.
Emenda kembali menegaskan, bukan soal thrifthing ataupun
fast fashion, tapi soal perilaku konsumsi yang harus lebih bijak dengan membeli
pakaian sesuai kebutuhan dan memaksimalkan pakaian yang sudah dimiliki demi
keselamatan bumi dan penghuninya.