KABARMASA.COM, JAKARTA - Mahkamah berkesimpulan
kewenangan penyidikan OJK yang merupakan inti dari dalil para Pemohon adalah
konstitusional sepanjang dikoordinasikan dengan penyidik kepolisian.
Mahkamah
Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan pengujian UU No. 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK). Permohonan ini diajukan
oleh Yovita Arie Mangesti, Hervina Puspitosari, Bintara Sura Priambada,
Ashinta Sekar Bidari, Rudi Asnawi, dan Andi Pawelloi. Dalam amar Putusan MK
Nomor 102/PUU-XVI/2018 ini menyatakan permohonan empat Pemohon pertama tidak
dapat diterima karena masalah kedudukan hukum (legal standing). Sedangkan dua
Pemohon selebihnya, MK menolak permohonan.
“Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan Pemohon I,
Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV tidak dapat diterima. Menolak
permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya,” ucap Ketua Majelis MK
Anwar Usman yang didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang
pengucapan putusan di ruang sidang pleno MK, Rabu (18/12/2019).
Dalam
putusannya, Mahkamah berpendapat kerugian yang dijelaskan oleh Pemohon I-IV
tidak menggambarkan adanya kerugian hak konstitusional yang disebabkan oleh
berlakunya Pasal 1 angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK. Sebab, keberlakuan
ketentuan tersebut tidak menghalangi Pemohon I-IV untuk menjalankan profesinya
sebagai pengajar hukum pidana.
Menurut Mahkamah, bila dikaitkan dengan Putusan MK Nomor
49/PUU-IX/2011, permohonan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda,
sehingga tidak serta-merta (otomatis) dapat dijadikan bangunan argumentasi
untuk memberikan kedudukan hukum kepada para Pemohon. Karena itu, Mahkamah
berpendapat Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV tidak memiliki
kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan uji materi UU
OJK ini.
Menanggapi pokok permohonan (Pemohon V dan VI) terkait
kewenangan penyidikan OJK, Mahkamah berpendapat wewenang penyidikan yang
dimiliki OJK selain (di luar) kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh lembaga
kepolisian, dapat dibenarkan. Apabila kewenangan penyidikan yang dimiliki OJK
dilaksanakan tanpa koordinasi dengan penyidik kepolisian, berpotensi adanya
kesewenang-wenangan dan tumpang-tindih dalam penegakan hukum pidana yang
terpadu.
“Demi
menghindari potensi tersebut, kewajiban membangun koordinasi dengan penyidik
kepolisian merupakan kewajiban yang melekat pada penyidik OJK. Dasar
pertimbangan demikian tidak terlepas dari semangat membangun sistem penegakan
hukum yang terintegrasi, sehingga tumpang-tindih kewenangan yang dapat
berdampak tindakan kesewenang-wenangan oleh aparat penegak hukum atau pejabat
penyidik (PPNS) di masing-masing lembaga dapat dihindari,” kata Hakim
Konstitusi Saldi Isra saat membacakan pendapat Mahkamah.
Terhadap dalil para Pemohon bahwa kewenangan OJK dalam hal penyidikan
dapat mengaburkan Integrated Criminal Justice System karena
UU OJK tidak mengatur jenis tindak pidana di sektor jasa keuangan perbankan
atau nonperbankan yang menjadi wewenang penyidik lembaga OJK, Mahkamah
berpendapat tanpa dikaitkan dengan jenis tindak pidananya, kewenangan
penyidikan OJK dapat dibenarkan dan konstitusional sepanjang pelaksanaannya
dikoordinasikan dengan penyidik kepolisian.
Terlepas
jenis-jenis tindak pidana dalam sektor jasa keuangan yang sangat beragam dan
tujuan dibentuknya OJK, Mahkamah memandang kewenangan penyidikan OJK adalah
konstitusional. Artinya, kewenangan OJK bukan semata-mata dalam konteks
penegakan hukum administratif semata, tetapi dalam batas-batas dan
syarat-syarat tertentu juga mencakup kewenangan penegakan hukum yang bersifat
projustitia sebagaimana telah dipertimbangkan di atas.
“Tegasnya, demi kepastian hukum, koordinasi dengan penyidik
kepolisian dilakukan sejak diterbitkannya surat pemberitahuan dimulainya
penyidikan (SPDP), pelaksanaan penyidikan, sampai dengan selesainya pemberkasan
sebelum pelimpahan berkas perkara kepada jaksa penuntut umum,” lanjutnya.
Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut, Mahkamah
berkesimpulan kewenangan penyidikan OJK yang merupakan inti dari dalil para
Pemohon adalah konstitusional sepanjang dikoordinasikan dengan penyidik
kepolisian. Untuk itu, dalil para Pemohon selain dan selebihnya oleh karena
tidak relevan, sehingga tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
“Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat
dalil permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.”
Permohonan ini diajukan sejumlah akademisi dari Fakultas Hukum Universitas
Surakarta, yakni Yovita Arie Mangesti, Hervina Puspitasari, Bintara Sura
Priambada, Ashinta Sekar Bidari. Para Pemohon merasa hak-hak
konstitusionalnya dirugikan atau berpotensi dirugikan dengan berlakunya Pasal 1
angka 1 dan Pasal 9 huruf c UU OJK, terutama frasa “penyidikan” dalam kedua
pasal tersebut.
Para Pemohon menilai kewenangan penyidikan PPNS
OJK dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dari proses pemanggilan, pemeriksaan,
meminta keterangan, penggeledahan hingga pemblokiran rekening bank, apabila
tidak sesuai dengan KUHAP dan tidak berkoordinasi dengan kepolisian.
Menurut Pemohon, original
intent dibentuk OJK untuk melaksanakan fungsi pengaturan dan
pengawasan (supervisi) jasa keuangan perbankan dan nonperbankan, bukan menjalankan fungsi penegakkan hukum. Selain
itu, wewenang penyidikan OJK dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 9 huruf c jo Pasal 49
ayat (1) dan (2) UU OJK terkait PPNS OJK dapat meminta bantuan penyidik Polri, overlapp dan inharmoni terhadap
Pasal 7 ayat (1) KUHAP, dimana PPNS diberi wewenang tersendiri oleh UU.
Seharusnya wewenang penyidikan OJK ini selalu di bawah koordinasi dan pengawasan
penyidik polri.
Karena itu, para pemohon meminta kepada
Mahkamah menyatakan kata “penyidikan” dalam Pasal 1 angka 1 dan kata
“penyidikan” dalam Pasal 9 huruf c UU OJK bertentangan dengan UUD 1945 dan
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Artinya, Pemohon minta wewenang
penyidikan pada OJK dihapus atau dicabut, sehingga tidak memiliki kewenangan
lagi untuk menyidik.