KABARMASA.COM, JAKARTA - Dewan Pimpinan Nasional Perhimpuan Mahasiswa Hukum Indonesia DPN PERMAHI menilai Presiden dan DPR harus lebih serius mengambil sikap dalam merespon Rekomendasi Ombusdman (ORI) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) terkait temuan Mal Administrasi dan pelanggaran Ham yang ditemukan pada saat dilaksanakan proses tes wawasan kebangsaan TWK sebagai persyaratan alih status pegawai KPK menjadi ASN.
Ketua Umum DPN PERMAHI Fahmi Namakule, S.H. menegaskan TWK merupakan suatu mekanisme yang dilakukan guna alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara justru manjadi polemik dan ancaman yang serius terhadap nilai-nilai moralitas dalam penyelenggaraan negara, karena dinilai upaya ini dilakukan untuk menyingkirkan pegawai KPK yang berintegritas dan telah berkontribusi besar selama ini terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
ORI menemukan terdapat kesalahan prosedur dalam proses TWK yang dilakukan oleh KPK yang bekerjasama dengan BKN dan pihak ketiga seperti BAIS, Dinas Phisikologi AD, BNPT, serta BIN. Adapun 4 (empat) poin rekomendasi ORI yang telah diserahka kepada KPK, Presiden dan DPR RI diantaranya : Pertama Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan potensi, dan manajemen ASN, perlu mengambil alih kewenangan yang didelegasikan kepada pejabat pembuat kewenangan (PPK) KPK, soal pengalihan status 75 pegawai.
Kedua Presiden perlu membina Ketua KPK Firli Bahuri, Kepala BKN Bima Haria, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo, Kepala Lembaga Administrasi Negara Adi Suryanto, serta Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly soal perbaikan kebijakan dan administrasi kepegawaian. Ketiga residen memonitoring tindakan korektif dari Ombudsman untuk BKN untuk menyusun peta jalan manajemen kepegawaian, khususnya mekanisme, instrumen, dan asesor pengalihan status pegawai menjadi ASN. Keempat Dalam rangka mewujudkan tata kelola SDM yang unggul, Presiden perlu memastikan pelaksanaan TWK dalam setiap manajemen ASN dilakukan sesuai prosedur berlaku.
Selain itu, Komnas Ham juga menemukan terdapat kurang lebih 11 pelanggaran terhadap hak asasi manusia dalam proses TWK, yakni : Pertama Pelanggaran Hak Atas Keadilan dan Kepastian Hukum, dimana Proses penyelenggaraan asesmen TWK pegawai KPK yang dimulai dari penyusunan Perkom No. 1 Tahun 2021 yang berujung pada pemberhentian 51 pegawai yang TMS menyebabkan tercerabutnya hak atas keadilan dan kepastian hukum terhadap pegawai yang TMS sebagaimana dijamin dalam Pasal 3 ayat (2) jo. Pasal 17 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Kedua Pelanggaran Terhadap Hak Perempuan, yakni adanya tindakan atau perbuatan yang merendahkan martabat dan bahkan melecehkan perempuan dalam penyelenggaraan asesmen sebagai bentuk kekerasan verbal dan merupakan pelanggaran atas hak perempuan yang dijamin dalam ketentuan Pasal 49 UU Nomor 39 Tahun 1999 dan UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW). Misalnya pertanyaan tentang status perkawinan, alasan bercerai, dan ingatan terhadap rasa berhubungan badan.
Ketiga Hak Untuk Tidak Diskriminasi, Adanya fakta terkait pertanyaan yang diskriminatif dan bernuansa kebencian dalam proses asesmen TWK merupakan bentuk pelanggaran dari Pasal 3 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999, Pasal 9 UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, dan Pasal 7 UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Hak hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR).
Keempat Pelanggaran Hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, terdapat fakta pertanyaan yang mengarah pada kepercayaaan, keyakinan maupun pemahaman terhadap agama tertentu tidak memiliki relevansi dengan kualifikasi maupun lingkup pekerjaan pegawai merupakan bentuk pelanggaran terhadap Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 jo. Pasal 18 UU Nomor 39 Tahun 1999 dan Pasal 18 UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR).
Kelima Pelanggaran Hak atas Pekerjaan, Penonaktifan atau non job terhadap 75 orang pegawai KPK yang TMS tanpa alas yang sah, seperti pelanggaran kode etik atau adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, pemberhentian tersebut nyata sebagai pelanggaran hak atas pekerjaan yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 jo. Pasal 38 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 dan Komentar Umum 18 angka 4 ICESCR.
Keenam Pelanggaran Hak atas Rasa Aman, Dilakukannya profiling lapangan ilegal dan intimidasi asesor saat wawancara merupakan salah satu bentuk dari dilanggarnya hak atas rasa aman seseorang yang dijamin dalam Pasal 30 UU No. 39 Tahun 1999.
Ketuju Pelanggaran Hak atas Informasi Proses, penyelenggaraan hingga hasil asesmen TWK yang tidak transparan, tidak terbuka, dan tidak informatif soal metode, ukuran, konsekuensi hingga pengumuman hasil TMS dan MS merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak atas informasi yang dijamin dalam Pasal 14 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 dan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Kedelapan Pelanggaran Hak atas Privasi, Adanya doxing2 dan hoax3 atas pribadi pegawai tertentu dalam proses asesmen merupakan salah satu bentuk pelanggaran dari hak atas privasi seseorang yang dijamin dalam Pasal 31 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE.
Kesembilan Pelanggaran Hak atas Kebebasan Berkumpul dan Berserikat, Fakta adanya hasil Asesmen TWK yang TMS banyak menyasar terhadap pegawai yang aktif dalam kegiatan Wadah Pegawai (WP) KPK sebagai bentuk pelanggaran HAM yang dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945 jo. Pasal 24 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 dan Komentar Umum 18, angka 12 C, ICESCR.
Kesepulu Hak untuk Berpartisipasi dalam Pemerintahan, Hasil asesmen TWK telah menghalangi pegawai KPK untuk berpartisipasi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Hal ini merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM yang dijamin dalam Pasal 44 UU No. 39 Tahun 1999.
Kesebelas Pelanggaran Hak atas Kebebasan Berpendapat, Adanya indikator seorang Pegawai dianggap TMS karena kekritisannya terhadap pimpinan, lembaga maupun pemerintah secara umum merupakan salah satu pembatasan terhadap kebebasan berpendapat seseorang yang dijamin dalam Pasal 23 ayat (2) jo. Pasal 25 UU No. 39 Tahun 1999 dan Pasal 19 UU No. 12 Tahun 2005.
Berdasarkan temuan sebagaimana dimaksud diatas, Komnas Ham kemudian merekomendasikan kepada Bapak Presiden Joko Widodo selaku pemegang kekuasaan tertinggi pemerintahan serta sebagai pembina tertinggi kepegawaian untuk mengambil alih seluruh proses asesmen TWK bagi 75 pegawai KPK dengan cara : Pertama Memulihkan status Pegawai KPK yang dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) untuk dapat diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) KPK yang dapat dimaknai sebagai bagian dari upaya menindaklanjuti arahan Bapak Presiden RI yang sebelumnya telah disampaikan kepada publik. Hal mana sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 70/PUU-XVII/2019 dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa pengalihan status pegawai KPK tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apapun di luar disain yang telah ditentukan tersebut.
Kedua Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proses penyelenggaraan asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) terhadap Pegawai KPK. Ketiga Melakukan upaya pembinaan terhadap seluruh pejabat Kementerian/Lembaga yang terlibat dalam proses penyelenggaraan asesmen TWK Pegawai KPK agar dalam menjalankan kewenangannya untuk tetap patuh pada ketentuan Perundang-undangan yang berlaku serta memegang teguh prinsip-prinsip profesionalitas, transparansi, akuntabilitas, serta memenuhi azas keadilan dan sesuai dengan standar hak asasi manusia.
Keempat Perlu adanya penguatan terkait wawasan kebangsaan, hukum dan hak asasi manusia dan perlunya nilai-nilai tersebut menjadi code of conduct dalam sikap dan tindakan setiap aparatur sipil negara. Kelima Pemulihan nama baik pegawai KPK yang dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS).
Oleh karena itu Presiden sebagai pemangku kebijakan berdasarkan legitimasi ketentuan perarutan perundang-undangan serta misinya dalam upaya penguatan kelembagaan KPK harus lebih cepat dan tepat dalam mempertimbangkan serta memutuskan polemik yang terjadi di lembaga anti rasua itu.
Selain itu kewenangan yang dimiliki DPR dalam hal melaksanakan pengawasan terhadap tugas-tugas penyelenggaraan pemerintah tentu sangat diharapkan untuk mendorong pemerintah agar lebih responsif serta proaktif terhadap segalah bentuk upaya pemeberantasan korupsi di Indonesia.