KABARMASA.COM, JAKARTA- Istilah keadilan restoratif berasal dari Albert Eglash pada tahun 1977, yang mencoba untuk membedakan tiga bentuk peradilan pidana, masing masing Retributive Justice, Distirbutve Justice, dan Restorative Justice. Menurut Eglash, focus Retributive Justice adalah menghukum pelaku atas kejahatan yang telah dilakukan olehnya. Sedangkan Distributive Justice memeliki tujuan rehabilitasi pelaku. Sementara Restorative Justice pada dasarnya adalah prinsip restitusi dengan cara melibatkan korban dan pelaku dalam proses yang bertujuan untuk mengamankan reparasi bagi korban dan rehabilitasi pelaku.
Keadilan Restoratif dianggap sebagai fenomena baru dalam pembangunan hukum pidana di indoensia, kendati keadilan restoratif dalam hukum pidana di Indonesia menurut Eddy Hiariej saat diwawancarai oleh kompas tv, Eddy; Keadilan Restoratif dalam dunia praktik cukup terlambat dalam pembangunan hukum pidana di Indonesia. Penulis Menukil pendapat Margarito Kamis saat menjadi narasumber yang diundang dalam acara diskusi ILC, di sela sela diskusi, Margarito mengtakan bahwa sebelum Bangsa Eropa mengenal konsep Restorative Justice, di Maluku sendiri mengenal Pela Gandong untuk menyelesaikan tragedi kerusuhan di Maluku dan Maluku Utara.
Pelaksanaan keadilan restoratif dapat dicapai jika terdapat pemaafan korban terhadap pelaku dengan tujuan untuk memulikan keadaan korban. Oleh karenanya pelaksaan keadilan restoratif memeliki corak kesamaan dengan Pela Gandong, Pela Gandong adalah falsafah budaya masyarakat Maluku yang terjalin dalam persaudaraan dan kekerabatan antar negeri atau dapat dikatakan adanya relasi sosial kultur. Dengan demikian pela gandong dapat menyalasaikan masalah hukum yang menimpa pihak pihak baik korban/keluarga korban maupun pelaku/kelauarga pelaku dengan penyalasian Pela Gandong melalui jalur persaudaraan atau kekerabatan.
Praketek penyalasian sengketa dengan melibatkan pihak yang terdampak dalam masyarakat sebenarnya sudah banyak dilakukan di nusanatara dan Indoensia. Bahkan penyalasian sengeketa diluar proses peradilan formal telah dilakukan jauh sebelum Negara Indoensia terbentuk. Hal ini dikarenakan mayoritas penduduk Indonesia tidak berasal dan bersifat dari perkotaan dan tidak pula sekuler, sehingga nilai sosial yang diutamakan cenderung menitikberatkan pada hubungan pribadi dengan karakterstik tenggang rasa, solidaritas komunal, dan penghindaran persilisihan. Penyalasian sengketa dengan melibatkan pihak pihak yang terdampak tersebut akrab dikenal dengan istilah musyawarah. Penyalasian sengketa tersebut bisa dilakukan melalui peradilan adat ataupun dilakukan secara perorangan.
Salah satu kelembagaan yang di gunakan dalam menyalasaikan konflik di Maluku ialah pernata adat. Pernata adat adalah Lembaga yang lahir dari nilai adat yang dihormati, diakui dan ditaati oleh masyakat. Lembaga yang masih digunakan atau masi dipercaya oleh masyarakat Maluku hingga saat ini adalah pela. Pela sebagai suatu sistem sosial budaya dalam masyarakat maluku mengandung di dalamnya spirit dan nilai dasar kehidupan Bersama. Pela adalah suatu bentuk perjanjian etik dan tanggung jawab yang menjadi tujuan kemengadaan manusia dan masyarakat Pela gandong dapat mempengaruhi kepribadian dan nilai-nilai individu seseorang. Sistem kekerabatan yang dibangun berdasarkan nilai Pela gandong sebagai suatu budaya yang dijunjung penganutnya, pendekatan tersebut juga diduga mampu mempengaruhi perilaku organisasi . Pela gandong berperan penting dalam rekonsiliasi dalam masyarakat yang dulu terpecah, disamping itu birokrasi juga berjasa dalam mempengaruhi kesenjangan sosial masyarakat di Maluku.
No comments:
Post a Comment