KABARMASA.COM, DEPOK- Kasus kopi sianida Jessica Wongso kembali menjadi perbincangan publik usai dirilisnya film ‘Ice Cold’ di platform Netflix pada akhirSeptember lalu. Meski putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap atau inkracht, ternyata masih terdapat sejumlah pandangan dari akademisi, praktisi hukum dan sejumlah profesi lainnya. Yakni, proses peradilan kasus tersebut yang menetapkan Jessica Wongso sebagai pelaku kematian sahabatnya Mirna Salihin pada Oktober 2016 lalu dinilai masih memiliki sejumlah persoalan, (17/12/2023).
"Permahi Cabang Jakarta Timur Kabid Penyuluhan dan Penerangan Hukum mengelar Seminar Nasional dengan tema Babak Baru Kopi Sianida, ‘’Apakah Jesika Pelakunya? Dengan ini maka kemudian menjadi bahan Analisa mahasiswa untuk melihat ketidak benaran yang terjadi dalam proses Penyidikan dan penyelidikan serta sampai pada proses persidangan yang begitu kontraversial" ujar Azhan J Refra selaku Kabid Penyuluhan dan Penerangan Hukum.
Menjadi perdebatan antara Kuasa Hukum Jesika dengan Jaksa Penuntut Umum yang dimana menurut Otto Asibuan dalam CCTV yang diputar dalam persidangan, Jessica tiba di Kafe Olivier pukul 16.14 WIB. Sedangkan dalam nota pesanan Jessica di Olivier, tercatat pukul 16.08 WIB.
Otto mempertanyakan perbedaan waktu tersebut. Menurut Otto, tak masuk akal apabila Jessica belum tiba di Olivier tapi sudah memesan menu terlebih dulu.
JPU menyebut, mungkin saja ada perbedaan waktu yang tercantum dalam CCTV. Dalam persidangan sebelumnya, resepsionis Olivier, Aprilia Cindy, menyatakan Jessica datang pukul 15.30 WIB hanya untuk memesan meja dan kembali lagi pukul 16.14 WIB.
Tak hanya soal perbedaan waktu, isi rekaman CCTV dinilai janggal oleh ahli digital forensik yang dihadirkan kuasa hukum, Rismon Hasiholan Sianipar. Dalam persidangan September lalu, Rismon menduga ada video tampering atau modifikasi ilegal yang dilakukan oleh Ajun Komisaris Besar M Nuh Al-Azhar.
Nuh merupakan ahli digital forensik Puslabfor Polri yang dihadirkan Jaksa dalam persidangan. Dia diminta penyidik untuk menganalisis hasil rekaman CCTV kafe Olivier.
Indikasi tampering ini, menurut Rismon, terlihat dari ukuran jari Jessica yang tidak proporsional saat menggaruk tangan usai Mirna tak sadarkan diri di Olivier. Rismon mencurigai, ada pengeditan manual karena tangan Jessica terlihat berubah warna dari terang, gelap, kemudian terang, dan kembali gelap.
Rismon juga menanyakan keaslian rekaman CCTV yang diperoleh Nuh. Menurutnya, analisis Nuh tak valid lantaran rekaman CCTV diperoleh dari hasil penggandaan.
Bukan hanya sampai disitu dalam seminar diskusi Narasumber menyampaikan, menilai banyak kejanggalan dari barang bukti tersebut.Mengutip Otto, ada dua versi berbeda pada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terkait penyimpanan kopi bersianida setelah disita pihak kepolisian.
Dalam BAP disebutkan, sampel kopi beracun dituangkan dari gelas ke botol saat di Polsek Tanah Abang, Jakarta Pusat, 8 Januari lalu. Namun keterangan lain dalam BAP menyebutkan, barang bukti telah dikirim dari Polsek Tanah Abang ke Mabes Polri sehari sebelumnya yakni 7 Januari 2016.
Pada tujuh barang bukti kopi yang diuji di Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) bahkan menunjukkan, hasilnya negatif sianida.
Dalam berkas dakwaan ada barang bukti yang kemudian disingkat BB I hingga VII. Hasilnya pada BB I, positif mengandung sianida sebanyak 7.400 miligram, BB II positif sianida sebanyak 7.900 miligram. Sementara pada BB lainnya dinyatakan negatif sianida.
Kejanggalan lain, keterangan bartender Kafe Olivier, Yohanes, yang mengaku menuang sisa kopi Mirna dalam botol air mineral yang terbuat dari kaca. Dia melakukan hal tersebut usai diminta manajer bar Kafe Olivier, Devi Siagian, untuk memindahkan kopi tersebut.
Yohanes memastikan, gelas itu kosong dan tak ada kopi beracun yang tersisa dalam gelas kopi tersebut. Sementara gelas bekas itu, seingat Yohanes, diletakkan begitu saja di meja pantry kafe.
“Ternyata dalam bukti yang dihadirkan bukan botol air mineral itu. Padahal sudah jelas kopi itu dituang semua ke botol. Sedangkan yang di laboratorium Puslabfor gelasnya masih isi kopi. Jadi kopinya yang mana?” ujar Otto di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Juli lalu.
Kemudia Kuasa Hukum Jessika meragukan keaslian kopi dalam botol yang menjadi barang butki. Dia mencurigai, kopi bukan berasal dari sisa kopi beracun yang diminum Mirna.
JPU sempat menunjukkan gelas bekas VIC dan botol berisi sisa kopi kepada majelis hakim dalam persidangan Juli lalu. JPU yang diwakili Ardito Muwardi membuka botol kaca berisi kopi beracun.
Terdengar suara letupan kecil saat botol itu dibuka. Tak ada bau khas dari kopi, warnanya juga telah berubah menjadi lebih keruh. Warna VIC mestinya coklat kehitaman. Namun dari keterangan sejumlah saksi di Olivier, kopi itu berwarna kekuningan seperti kunyit dengan bau tak enak.
Devi Siagian juga ditunjukkan botol kaca berisi kopi. Hakim Anggota Binsar Gultom menanyakan warna kopi dalam botol tersebut pada Devi.
“Warnanya seperti ini atau tidak?” tanya hakim Binsar sambil menunjukkan botol.
“Beda, Yang Mulia. Kopi yang diminum Mirna saat itu lebih pekat dan kekuning-kuningan,” jawab Devi.
Perubahan warna kopi dalam botol diduga karena lama penyimpanan sejak peristiwa kematian Mirna terjadi. Meski kopi dalam botol telah berubah warna, Devi meyakini bahwa botol kopi itulah yang dibawa polisi untuk diperiksa di Puslabfor Polri.
“Saya yakin itu yang diperiksa. Botolnya juga sama, karena saya yang meminta Yohanes memindahkan dari gelas ke botol,” ucapnya.
Jaksa Ardito menilai kuasa hukum Jessika tak paham soal barang bukti. Dia menjelaskan, dari keterangan Devi kopi beracun yang diminum Mirna langsung disita penyidik usai kejadian. Ardito membenarkan minuman itu sempat dituang Yohanes ke dalam botol.
“Sehingga diperkirakan dalam gelas masih ada, di botol juga masih ada,” katanya.
Penyidik lantas meminta VIC tanpa sianida di Kafe Olivier sebagai pembanding. Semula VIC pembanding disimpan dalam kantong plastik, namun polisi kemudian meminta dipindahkan ke botol karena khawatir akan tumpah. Sementara VIC yang bersianida juga telah disimpan dalam botol.
“Jadi yang dibawa ke Puslabfor itu dua botol dan satu gelas. Satu botol diduga isi sianida, gelas yang diduga isi sianida, dan satu botol VIC pembanding,” katanya.
Namun jaksa Ardito tak berani memastikan apakah botol VIC yang ditunjukkan dalam persidangan adalah barang bukti berupa kopi bersianida atau kopi pembanding. Menurutnya, pembuktian ini hanya bisa dilakukan tim Puslabfor Polri.
Sayangnya, hingga jatah waktu menghadirkan saksi bagi JPU telah habis, keterangan soal barang bukti botol berisi kopi masih menjadi tanda tanya. Bagaimana barang bukti yang illegal menjadi legitimasi dalam proses persidangan? Perdebatan ini menjadi atensi Masyarakat dan Mahasiswa, terhadap indenpendensi (Institusi Lembaga Penegakan Hukum) dalam hal ini adalah Polri, JPU, dan Mahkama Agung dalam menjalankan proses yang diduga serampangan.
Belum lagi Penyalagunaan Wewenang dari pejabat yang mencoba mengintervensi, untuk memuluskan daripada proses penanganan perkara yang serampangan, sehingga berjalan dengan ketidak adilan pungkas Azhan J Refra selaku Kabid Penyuluhan dan Penerangan Hukum.
Permahi meminta kepada otoritas tertinngi Institusi Polri yaitu ‘’Bapak Sigit Prabowo agar mencoba melakukan Investigasi terkait dengan berita yang beredar di media masa tentang segelintir Oknum yang mencoba mengunakan Abous Of Power untuk mengintervensi dan mengintimidasi dalam penanganan perkara Jessika, sebab ini menjadi contoh yang tidak baik untuk masadepan Polri dan masa depan seluruh Lembaga Penegakan Hukum" pungkasnya.
No comments:
Post a Comment