Peran Jaksa Pengacara Negara Dalam Pengembalian Kerugian Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi, Oleh : Randika Ramadhani Erwin, S.H Mahasiswa Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Lampung

KABARMASA.COM, JAKARTA- Korupsi merupakan suatu fenomena umum dan universal yang sekarang terjadi berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Tingkatan indeksi korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini sudah dalam posisi yang sangat berbahaya dan mengkhawatirkan yang terjadi di segala lini pembangunan. Praktek korupsi yang berkembang dari tahun ke tahun yang terus meningkat, baik dilihat dari jumlah perkara ataupun jumlah kerugian keuangan negara sudah mewabah dalam seluruh aspek masyarakat. Masalah korupsi bukanlah suatu masalah baru dalam persoalan hukum dan ekonomi suatu negara, karena pada dasarnya masalah korupsi telah ada sejak ribuan tahun lalu, baik di negara maju maupun negara berkembang. 

Hal yang dikhawatirkan dari efek peningkatan tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya, yang tentunya berdampak kepada tindak pidana korupsi yang tentunya tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan menjadi suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)Kejaksaan adalah suatu lembaga pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang  yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang  Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Serta Kejaksaan diberikan wewenang oleh Undang- Undang sebagai Jaksa Pengacara Negara bertindak dalam mengambil aset hasil korupsi melalui gugatan perdata, seperti apa yang tuangkan pada Pasal 30C huruf f dan g, Undang-Undang Kejaksaan Republik Indonesia, Penerapan gugatan perdata terhadap aset hasil korupsi didasarkan pada prinsip Asset Recovery, prinsip gugatan perdata sebagai alternatif pengembalian asset negara, prinsip litigasi multiyurisdikasi, prinsip pembekuan atau penyitaan dan perampasan dari hasil korupsi atau kekayaan yang dicuci di negara lain hal ini sesuai dengan Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dan Pasal 19 Undang- Undang No.31 Tahun 1999 yang menjelaskan tentang pengembalian hasil korupsi kepada negara. Pengaturan substantif dari Jaksa Pengacara Negara yang berperan dalam mengembalikan keuangan atau aset negara hasil tindak pidana korupsi tertera dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Jaksa Pengacara Negara dapat menggugat pihak yang telah merugikan keuangan dan atau aset negara dengan dasar kerugian Keperdataan Pelaksanaan pengembalian keuangan negara dari hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan baik secara perseorangan maupun secara kelompok menjadi salah satu tugas dari Kejaksaan, karena Kejaksaan diberikan wewenang oleh Undang-Undang untuk optimalisasi peran Jaksa sebagai Pengacara Negara Dalam pengembalikan kerugian keuangan negara atau aset negara melalui uang pengganti hasil dari Tindak Pidana korupsi seperti yang diatur dalam Pasal 18 Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga dengan dasar-dasar tersebut Kejaksaan berwenang untuk mengembalikan kerugian negara dari tindak pidana korupsi.

Pelaksanaan pengembalian keuangan negara dari hasil tindak pidana korupsi yang dilakukan baik secara perseorangan maupun secara kelompok menjadi salah satu tugas dari Kejaksaan, karena Kejaksaan diberikan wewenang oleh Undang- Undang untuk optimalisasi peran Jaksa sebagai Pengacara Negara Dalam pengembalikan kerugian keuangan negara atau aset negara melalui uang pengganti hasil dari Tindak Pidana korupsi seperti yang diatur dalam Pasal 18 Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga dengan dasar-dasar tersebut Kejaksaan berwenang untuk mengembalikan kerugian negara dari tindak pidana korupsi.

Pembayaran uang pengganti yaitu pidana tambahan yang khusus dikenal dalam tindak pidana korupsi. Pembayaran uang pengganti dilaksanakan apabila setelah putusan pidana, ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan akibat perbuatan terpidana korupsi telah merugikan negara, dalam hal ini kerugian keuangan negara. Pelaksanaan pembayaran uang pengganti dilaksanakan oleh jaksa yang ditunjuk khusus bertindak untuk dan/atau atas nama negara untuk mengembalikan kerugian negara tersebut. Pada Pasal 10 KUHP hanya mengenal adanya  pidana tambahan, berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu atau pengumuman putusan hakim. Prosedur yang dilalui yakni meminta terpidana membayar uang pengganti. Jika uang pengganti tidak bisa disanggupi, harta benda terpidana disita oleh Jaksa dan dilelang. Jika terpidana tidak mampu membayar, maka hartanya disita dan dilelang dan jika tidak sebanding juga dengan nilai yang telah dikorupsi, maka ia harus menjalani penjara (kurungan badan).

Tujuan pembayaran uang pengganti yaitu untuk memaksimalkan pengembalian uang negara yang telah dikorupsi dan penjatuhan pidana denda diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diperbaharui dengan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan mengalami perubahan kembali UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 20 Tahun 2001 mengatur tentang sanksi pembayaran denda dan uang pengganti atas perbuatan korupsi yang dilakukan oleh orang pribadi maupun badan hukum.

Pengembalian kerugian negara (asset recovery) melalui uang pengganti dan denda, jika dalam pelaksanaan pengembalian kerugian negara uang yang dikembalikan tidak sama dengan jumlah yang telah dikorupsi, maka ini menunjukan bahwa betapa pentingnya jaksa sebagai pengacara negara dalam pegembalian kerugian negara akibat tindak pidana korupsi. Tidak akan ada jaminan bahwa kerugian negara bisa teratasi melalui kewenangan jaksa sebagai pengacara negara, apabila aturan tentang asset recovery tidak dijalankan sesuai prosedur, yang mana ada penyimpangan alur oleh opsi pengganti selain angka kerugian, opsi yang dimaksudkan yakni sisa kerugian data diganti kurungan penjara. Prosedur yang dijalankan dalam kenyataan bahwa adanya opsi pengajuan surat pernyataan tidak sanggup membayar ganti rugi kepada negara oleh para terdakwa korupsi, sehingga salah satu opsi ini mengakibatkan timbulnya peluang bagi para koruptor untuk berlindung dengan pilihan sebagian hukuman menjadi kurungan penjara. Sementara jika dilihat bahwa hal ini ternyata tidak terdapat keadilan hukum atau dengan kata lain kewenangan jaksa sebagai pengacara negara melalui dasar aturan pada Pasal 18 UUPTPK, belum menjamin secara perdata, akan kembalinya secara utuh keuangan negara yang telah hilang akibat korupsi tersebut. Berbagai kendala tanpa solusi, sebagai akhir dari harapan hukum berupa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum selama jaksa menjalankan kewenangannya sebagai pengacara negara, maka akibat yang terjadi negara akan terus merugi.

Berdasarkan ketentuan Pasal 18 UU Tindak Pidana Korupsi frasa jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, dari dua point tersebut terlihat bahwa bagaimana penghitungan besaran uang pengganti, kapan harus dibayar, dan konsekuensinya jika uang pengganti tidak terbayarkan. Kemudian pada Pasal 18 ayat (3) berbunyi : “Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.”
Terpidana korupsi tidak mempunyai harta benda yang cukup untuk membayar uang pengganti, maka akan diganti dengan pidana penjara sesuai dengan pada Pasal 18 ayat (3) UUPTPK. Jaksa dalam hal bertindak sebagai pengacara atau advokat bagi negara, untuk mengembalikan aset atau harta hasil korupsi di sidang pengadilan, merujuk pada UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana kejaksaan diberikan kewenangan untuk dan atas nama negara atau pemerintah sebagai penggugat atau tergugat, yang dalam pelaksanaannya tidak hanya memberikan pertimbangan hukum dan membela kepentingan negara atau pemerintah sebagai pengacara negara
Pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana korupsi melalui kewenangan jaksa dalam penanganannya, menjadi salah satu misi utama dan tugas pokok yang harus disukseskan, sejalan dengan tuntutan reformasi di bidang penegakkan hukum di Indonesia. Kerugian negara dalam hal ini kerugian pada keuangan negara untuk tindak pidana korupsi, diatur dalam Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 UU No. 20 Tahun 2001. Pada tindak pidana ini, kerugian keuangan negara menjadi salah satu unsurnya. Kerugian keuangan negara belum ada dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ini, hanya pengertian keuangan negara, dapat diartikan bahwa keuangan negara yakni seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggung jawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun daerah; Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah, yayasan,badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.

Apabila negara mengalami kerugian keuangan akibat tindak pidana korupsi, maka jaksa ditunjuk untuk mewakili negara sebagai pengacara negara atau dengan kata lain, apabila telah terbukti secara sah dan meyakinkan, seseorang telah melakukan tindak pidana korupsi dan ditemukan adanya kerugian keuangan negara, misalnya dilakukan oleh pejabat negara, kemudian negara menunjuk pengacara untuk membela negara pada ranah perdata, melalui kewenangan jaksa yang bertindak sebagai wakil negara dalam pengembalian kerugian keuangan negara Peran Jaksa dalam pengembalian kerugian keuangan Negara melalui jalur pidana pihak kejaksaan juga memiliki wewenang untuk memulihkan kerugian negara dengan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi. Jika terdakwa tindak pidana korupsi tidak dapat membuktikan harta benda miliknya bukan diperoleh dari perbuatan tin-dak pidana korupsi maka hakim berwenang memutus untuk merampas harta benda tersebut untuk Negara. hal ini sebagaimana dikatakan dalam pasal 38B ayat (2) Undang- undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang berbunyi:

“Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk Negara.”
Peran jaksa dalam pengembalian kerugian negara, melalui jalur perdata, seba gaimana sudah diatur dalam Pasal 32 sampai Pasal 34 UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberan- tasan Tindak Pidana Korupsi Dalam hal ini jaksa melakukan gugatan perdata dengan menyerahkan berkas perkara kepada Jaksa Pengacara Negara untuk segera melakukan proses gugatan perdata kepada terdakwa atau ahli warisnya. Selanjutnya apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukumtetap, diketahui masih terdapat harta milik iterdakwa yang diduga kuat berasal darikorupsi yang dia perbuat dan belum dikenakan perampasan untuk negara maka negara sebagai korban dapat melakukan gugatan perdata melalui Jaksa Pengacara Negara terhadap ahli waris terdakwa. (Red)

Share:

No comments:

Post a Comment






Youtube Kabarmasa Media



Berita Terkini

Cari Berita

Label

Arsip Berita

Recent Posts