KABARMASA.COM, JAKARTA — Presiden Joko Widodo (Jokowi) atau Kuasa Hukumnya tidak hadir dalam sidang kedua gugatan atas pengangkatan Penjabat Gubernur Banten Al Muktabar.(20/07/2022).
Sidang tersebut berlangsung di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Rabu 20 Juli 2022.
Sementara, penggugat Rizki Aulia Rohman, ketua DPC Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Banten beserta kuasa hukumnya Raden Elang Yayan Mulyana dan Satria Pratama hadir dalam sidang tersebut. Selain itu, hadir juga Kepala Biro Hukum Pemprov Banten Asep Syaifullah yang mewakili Pj Gubernur Banten Al Muktabar.
Sidang gugatan dengan nomor register 202/G/2022/PTUN.JKT, dimulai pukul 11.00 WIB. Tidak ada keterangan mangkirnya kuasa hukum presiden yang pada sidang sebelumnya diwakili oleh Kuasa Hukum dari Kementerian Sekretariat Negara (Kemensesneg).
Berlangsung sekitar 60 menit, sidang yang dimulai pukul 11.00 WIB itu beragendakan mendengarkan keterangan dari perwakilan Pj Gubernur Banten. Hakim memberikan kesempatan kepada Kuasa Hukum Pj Gubernur Banten untuk ikut serta menjadi turut tergugat atau tidak.
Menanggapi, pertanyaan Hakim, Kabiro Hukum Pemprov Banten menyatakan bahwa pihaknya menyerahkan proses rangkaian perjalanan sidang sepenuhnya kepada kuasa hukum Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo.
Adapun, pertimbangan Hakim memberikan kesempatan kepada Kabiro Hukum Pemprov Banten ini, dilakukan untuk memberikan asas peradilan yang adil, sebab objek gugatan yang dilayangkan oleh aktivis DPC Permahi Banten, Rizki Aulia Rohman, akan berimplikasi pada jabatan yang diemban oleh Al Muktabar, selaku Pj Gubernur Banten.
Raden Elang Yayan Mulyana, selaku kuasa hukum penggugat menyatakan, Keputusan Presiden Negara Republik Indonesia Nomor.48/P Tahun 2022 Tentang Pengesahan Pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur Banten 9 Mei 2022 dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor.50/P Tahun 2022 Tentang Pengangkatan Pejabat Gubernur Banten Al Muktabar, 9 Mei 2022, merupakan suatu pelanggaran konstitusional.
Sebab, menurutnya, mekanisme pengangkatan Pj Gubernur Banten yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri (KEMENDAGRI) yang kemudian ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, belum diatur secara hukum.
“Sehingga ini bertentangan dengan asas kepastian hukum, karena Permendagri No.74 tahun 2016 tentang Pedoman Mengangkat Pelaksana Tugas (PLT)Kepala Daerah hanya mengatur tentang PLT (Pelaksana Tugas) Kepala Daerah, karena alasan cuti Pilkada atau tersangkut dengan masalah hukum berkekuatan hukum tetap, akan tetapi faktanya Penjabat Gubernur Banten telah habis masa jabatannya, hal ini akan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum pada setiap kebijakan yang akan diambil,” cetusnya.
Kuasa hukum penggugat lainnya, Satria Pratama menambahkan, dengan mempertimbangkan lamanya daerah dipimpin oleh Pj kepala daerah, tanpa adanya pemberian kewenangan penjabat kepala daerah dalam masa transisi menuju Pilkada serentak secara nasional. “Dapat memicu terjadinya praktik-praktik maladministrasi, karena Pj Gubernur Banten berpotensi dapat melakukan tindakan atau kebijakan diluar kewenangannya yang berdampak pada kerugian bagi masyarakat Banten,” ucapnya.
Terlebih, lanjut Satria, pada 19 Juli 2022 lalu, Ombudsman RI telah merilis ke publik bahwa adanya dugaan maladministrasi dalam penunjukan kepala daerah setara Gubernur, Bupati dan Walikota oleh pemerintah melalui Kemendagri.
Seperti diketahui sebelumnya, Ombudsman RI telah menemukan Tiga bentuk malaadministrasi dalam pengangkatan Pj kepala daerah, yakni penundaan berlarut-larut dalam memberikan tanggapan atas permohonan informasi dan keberatan pelapor, penyimpangan prosedur dalam pengangkatan penjabat kepala daerah seperti adanya pengangkatan dari unsur TNI /Polri aktif, dan tindakan mengabaikan kewajiban hukum terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021 serta Nomor 15/PUU-XX/2022 yang meminta Kemendagri untuk menyusun peraturan turunan sebagai pedoman pelaksanaan pengangkatan Penjabat Kepala Daerah.
“Jelas bahwa pengisian penjabat tersebut tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan sekaligus tidak memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas, sesuai dengan aspirasi daerah serta bekerja dengan tulus untuk rakyat dan kemajuan daerah,” jelasnya.
Jika penunjukan Pj Gubernur dilakukan hanya atas dasar pertimbangan status jabatan sebagaimana pasal 210 ayat (11) UU 10 tahun 2016, lanjut Satria, maka tentulah pengangkatan tersebut tidak sesuai dengan kepentingan umum khususnya masyarakat Banten, karena belum tentu Penjabat yang dimandatkan untuk menganti Gubernur, Bupati Walikota paham akan permasalahnya dan malah menjadi conflict of interest.
Dirinya mempertanyakan, kepada siapa Penjabat yang penggantikan Gubernur menyampaikan laporannya? Pemerintah Pusat saja? Atau tetap membuat laporan kepada masyarakat yang tidak pernah memilihnya karena bukan kepala daerah yang dipilih rakyat secara demokratis, dan tidak terlegitimasi langsung oleh rakyat.
Sebab itu, Satria juga mendesak agar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Banten, berperan aktif guna mempertanyakan status kewenangan Pj Gubernur Banten kepada kemendagri, karena ini terkait dengan keabsahan hukum terkait putusan dan kebijakan penyelenggaran pemerintah daerah yang dilakukan oleh Pj Gubernur Banten.
“DPRD Provinsi Banten, memiliki tugas dan kewenangan untuk mengawasi jalannya roda pemerintahan daerah Banten, terlebih mereka adalah wakil rakyat yang dipilih secara konstitusional,” pungkasnya.
No comments:
Post a Comment