KABARMASA.COM, JAKARTA - Tradisi budaya tak hanya mampu menebarkan keteduhan di tengah resah jiwa dan kebencian antarsesama, namun juga adalah bahasa hati untuk mengungkapkan rasa cinta damai dan persaudaraan sebuah bangsa.
Tiga kelompok penari dari Model Ndeso Sambilegi, Sleman, tampil di Pendapa nDalem Benawan, Jalan Rotowijawan, Kadipaten, Kraton, Yogyakarta, Jumat 29 Juli 2022, membawa misi persatuan dalam ragam kebudayaan. Melalui sebuah tarian massal bertajuk Edan-Edanan, selama sekitar 30 menit mereka memukau puluhan mahasiswa dari Sulawesi, Kalimantan, Aceh, Yogyakarta dan sejumlah undangan yang hadir di kediaman RM. Aning Benawa tersebut.
Kelompok pertama terdiri belasan penari pria dan wanita tampil membuka repertoar dengan santai diselingi dialog interaktif dengan penonton dan tamu VIP. Menciptakan suasana hangat dan penuh canda. Pemimpin kelompok tari itu bahkan sempat melontarkan sindiran ringan di tengah pujian kepada RM Aning Benawa selaku tuan rumah, karena pernah batal menghadiri undangan dari komunitas Sembilegi. Sindiran disambut oleh kerabat keraton yang akrab disapa Gusti Aning itu dengan permintaan maap sembari tersipu.
Kelompok penari kedua terdiri para pemuda bertelanjang dada menyusul tampil ke panggung menyuguhkan tarian bergenre rancak dengan atraksi semburan api yang magis. Selanjutnya kelompok terakhir, sejumlah penari berkostum raksasa tampil enerjik dan mengguncang lantai pendapa yang asri itu.
Meski di atas panggung yang sempit, namun kematangan permainan kelompok penari asuhan Mas Cithoet itu menghadirkan suasana dan karakter tarian harmonis. Dialog bermacam gerakan dan ekspresi yang berbeda karakter tiga kelompok penari itu menyuguhkan nuansa dan garis pesan yang segar. Suasana pendapa nDalem Benawan yang klasik memberi kesan sempurna perpaduan jiwa antara dua zaman berbeda, kedalaman tradisi masa lalu dan ketinggian teknologi masa kini.
Secara keseluruhan penampilan itu seakan melemparkan ingatan para tamu jauh ke masa lalu. Sambilegi performance itu mampu menjaga ritme permainan mereka hingga kelpompok penari raksasa menutup penampilan. Namun para undangan tampaknya belum berpikir untuk beranjak dari tempat duduknya. Menunggu dua sesi sarasehan dari KRT. Jatiningrat yang membawakan tema Filosofi Mubeng Beteng dalam Perpekstif Milenial dan dari Kepala Bandan Inteligen DIY, Brigjen Andry Wibowo dalam tema Kebudayaan sebagai Benteng Persatuan dan Kesatuan NKRI.
Menurut KRT. Jatiningrat, tradisi Mubeng Beteng hakikatnya merupakan laku budaya sebagai sarana masyarakat melakukan instropeksi atas apa yang terjadi selama setahun lalu dan memohon kepada Tuhan agar diberikan kebaikan di tahun yang akan datang. Tidak diketahui secara pasti kapan tradisi itu bermula. Namun karena dinilai merupakan sebuah tradisi yang positif, hingga saat ini tetap dilakukan dan terbuka untuk umum.
Di bagian lain, Brigjen Andry Wibowo yang tampil membawakan tema Kebudayaan sebagai Benteng Persatuan dan Kesatuan NKRI, menyampaikan gagasan bahwa agama, budaya dan ilmu pengetahuan merupakan konsep “trisula weda kepribadian” yang sepatutnya menjadi muatan dari sikap dan watak kepribadian bangsa yang diwujudkan dalam tindakan sehari hari.
Agama, budaya dan ilmu pengetahuan, menurut polisi intelektual lulusan Akpol 1993 itu, tidak sekadar narasi besar yang hanya dibaca dan diinterpretasikan, tetapi harus dioperasionalkan untuk menerjemahkan dan menjawab tantangan zaman.
“Ketiganya merupakan kesatuan konsep utuh yang harus dijalankan bersama, sehingga satu dari tiga hal itu terlepas maka akan rusak pula tatanan kehidupan berbangsa secara keseluruhan,” jelas penyandang Kapolres Terbaik PAM Pemilu 2014 itu saat ditemui di sela-sela acara.
Pagelaran Angkringan Bhineka dan Sarasehan Budaya di nDalem Benawan, boleh jadi merupakan ajang kebudayaan dalam misi istimewa bagi sebuah provinsi yang dihuni masyarakat dari berbagai suku dan agama, bernama Daerah Istimewa Yogyakarta. Disamping merupakan ajang renungan di malam 1 Suro, melalui sarasehan kebangsaan dan gelar seni yang ditampilkan seakan menegaskan arti nilai persaudaraan bagi seluruh masyarakat Yogyakarta yang beragam.
RM. Aning Benawa selaku pemrakarsa acara mengakui, Angkringan Bhineka dan Sarasehan Kebangsaan baru pertama kali digelar di nDalem Benawan. Tujuannya sebagai momentum untuk memperkenalkan ragam budaya Yogyakarta dan nilai-nilai filosofinya bagi semua kalangan pelajar, mahasiswa dan masyarakat yang ada di Yogyakarta.
Namun demikian Gusti Aning juga tidak menyangkal jika acara tersebut digelar sebagai salah satu upaya mengikat kembali rasa persaudaraan masyarakat Yogyakarta yang belakangan sempat ternoda oleh sejumlah insiden yang mengganggu.
“Beberapa peristiwa kekerasan yang terjadi belakangan di Yogyakarta memang menjadi salah satu hal yang mendorong diselenggarakan pentas budaya ini,” ucap Gusti Aning.
Menurutnya, ketika tata krama dan tenggang rasa mulai pudar dalam kehidupan pelajar, mahasiswa dan masyarakat, maka bermacam percikan dan gesekan akan mudah terjadi. Oleh karena itu, lanjut Gusti Aning, selain muatan kurikulum sekolah yang harus lebih berpihak pada local wisdom, peran tradisi budaya diharapkan bisa ikut membantu membentuk siswa menjadi generasi berakhlak mulia.
Usai sarasehan, acara ditutup dengan penandatanganan pakta integritas: Damai Itu Istimewa. Angkringan Bhineka digagas RM. Aning Benawa dan terlaksana berkat dukungan berbagai pihak yang peduli terhadap pelestarian budaya sebagai salah satu jalan menuju kehidupan masyarakat yang rukun dan damai..
Di sisi lain, bagi masyarakat Jogja, even tersebut serasa lebih memberi makna untuk sebuah pentas seni tari sebagai bagian dari peristiwa budaya. Apalagi pergelaran itu berlangsung dalam suasana perasaan HUT Proklamsi RI ke-77 dan bertepatan dengan malam pergantian tahun baru Jawa 1 Suro 2022
No comments:
Post a Comment