KABARMASA.COM, Jakarta - Pemerintah berencana akan membuka keran impor beras sebanyak sekitar 1 juta ton pada awal tahun ini. Langkah impor beras ini muncul atas inisiatif Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Alasannya, impor dibutuhkan untuk menjamin stok beras dalam rangka menjaga ketersediaan pangan sepanjang 2021 sehingga tidak menimbulkan gejolak sosial dan politik.
Ketua Umum DPP GMNI, Arjuna Putra Aldino menolak alasan tersebut. Pasalnya, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan produksi gabah kering giling (GKG) mencapai 54,65 juta ton atau setara dengan 31,33 juta ton beras. Angka ini naik dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 54,6 juta ton GKG yang setara dengan 31,31 juta ton beras. Belum lagi ditambah potensi produksi periode Januari-April 2021 diprediksi bisa mencapai 14,54 juta ton, naik 26,84% dibandingkan periode yang sama 2020 sebesar 11,46 juta ton.
"Kami kira impor beras belum diperlukan. Mengingat angka produksi beras tahun lalu masih cukup memenuhi stok, ditambah potensi produksi awal tahun ini yang mau memasuki panen raya, bakal surplus. Jadi tidak ada urgensi untuk impor beras", tegas Arjuna
Arjuna juga menolak alasan Menteri Perdagangan yang menyebut impor beras untuk menjaga iron stock yang diperlukan untuk kebutuhan mendesak, seperti penyaluran bantuan sosial (bansos) atau operasi pasar untuk stabilisasi harga.
"Ini alasan yang dibuat-buat. Pasalnya, pemerintah telah menggantikan program Beras Sejahtera (Rastra) menjadi Bantuan Pangan Nontunai (BPNT). Artinya, program social safety nets sudah tidak lagi menggunakan beras, tapi sudah non-tunai. Jadi tidak ada peningkatan kebutuhan dan problem stok yang sehoror dibayangkan pak Menteri", tambah Arjuna
Selanjutnya, menurut Arjuna impor bukanlah solusi yang bisa menyelesaikan masalah distabilitas harga beras. Untuk menstabilkan harga beras solusinya bukanlah impor. Melainkan menurut Arjuna pemerintah harus menertibkan tata niaga beras yang memiliki kecenderungan berpola kartel dimana ada segelintir distributor yang menguasai suplai beras dari petani sampai ke pasar. Mereka adalah middle man yang selama ini menikmati tingginya margin harga beras.
"Impor bukan solusi menstabilkan harga beras. Tapi pemerintah harus menertibkan tata niaga beras yang cenderung dikuasai segelintir distributor yang bisa menahan pasokan, melakukan pengaturan wilayah pemasaran dan pembentukan harga. Mendekati kartel. Pola semacam inilah yang membuat harga beras tidak berjalan sesuai mekanisme pasar. Jadi impor tidak menyelesaikan masalah.", ujar Arjuna
Arjuna juga mengungkapkan kebijakan impor di masa menjelang panen raya sangat rawan ditunggangi oleh praktik perburuan rente dengan mengambil keuntungan dari margin antara harga beras di negara pemasok impor dengan harga beras dalam negeri, yang selisihnya bisa dua kali lipat. Tentu ini hanya menguntungkan distributor nasional yang mendapatkan jatah kuota impor beras. Namun merugikan jutaan petani Indonesia. Untuk itu, GMNI meminta Presiden membatalkan niat pemerintah mengimpor beras menjelang masa panen raya.
"Impor komoditas pangan rawan praktik perburuan rente, yang mengambil untung dari margin harga di negara pemasok dengan harga pangan nasional. Ini benar-benar tidak memikirkan nasib petani kita. Impor boleh-boleh saja, apabila memang benar-benar paceklik kondisinya. Menjelang panen raya malah impor, sangat tidak Pancasilais", tutup Arjuna
No comments:
Post a Comment